Telah terbit di Kompasiana edisi Kamis, 6 Februari 2025
SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh serta novelis, melaporkan dari Aceh Besar.
Sejak dahulu kala, Indonesia dikenal memiliki kekayaan rempah. Alasan itulah yang menjadi magnet pengundang negara-negara Barat menjelajah ke mari. Inggris, Portugis, hingga Belanda datang untuk berdagang. Keserakahan mereka berujung pada penjajahan dan perang besar akibat praktik monopoli.
Dikaruniai tanah yang subur serta makmur, membuat Indonesia memiliki banyak sekali kuliner khas di masing-masing daerah. Sabang sampai Merauke, pasti memiliki ciri khas dari masakan mereka. Khususnya Aceh Besar, yang memiliki kuliner bernama Kuah Beulangong.
Kuliner ini merupakan Warisan Budaya Tak Benda yang ditetapkan secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Masakan yang mempersatukan masyarakat dari berbagai kalangan ini dinilai layak untuk ditetapkan sebagai warisan yang berharga karena sangat identik dengan Aceh.
Masakan kuah beulangong dikenalkan pada masyarakat Aceh pada abad 19, bahkan bisa saja jauh sebelum itu oleh pedagang dari Gujarat, India. Kedatangan mereka ke Aceh tak hanya untuk berdagang dan menyiarkan agama Islam. Akan tetapi memberikan banyak pengaruh pada budaya Aceh, salah satunya kuliner.
Kuah Beulangong merupakan olahan daging sapi atau kambing yang dimasak bersama buah nangka muda serta taburan rempah-rempah yang membuat cita rasanya begitu menggoda. Kuahnya kecokelatan, bau harum mengundang rasa lapar, sampai-sampai rasanya tak puas makan jika hanya satu piring saja.
Masakan ini dulunya hanya ditemukan pada acara-acara besar seperti maulid Nabi, pernikahan, syukuran khitan, atau hari raya. Dinamakan kuah Beulangong bukanlah tanpa alasan. Nama itu merujuk pada perkakas yang digunakan untuk memasak, yaitu beulangong atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga besar.
Menariknya, kuah beulangong selalu dimasak oleh para laki-laki. Seolah-olah memang mengkhususkan merekalah yang harus memasak kuah beulangong ini. Hal itu disebabkan oleh ukuran belanga yang amat besar. Satu belanga bisa menyediakan dua ratus porsi.
Selain itu, proses memasaknya pun mencapai dua jam. Tungkunya pun unik, terbuat dari drum bekas dan diisi serbuk kayu. Barulah setelah dipenuhi serbuk, potongan-potongan kayu bakar diletakkan di atasnya lalu dinyalakan.
Bahan baku utamanya adalah daging sapi, kambing, atau kerbau. Sayurnya berupa buah nangka muda dan pisang kepok. Ciri khas kuah beulangong yang dimasak di perkampungan ialah penggunaan belanga besar, tungku drum, serta pengaduk dari pelepah kelapa.
Namun, dahulu ada satu bahan baku yang ditambahkan ke dalam kuah beulangong agar dagingnya empuk saat dimakan, yaitu biji ganja. Sayangnya, sekarang sudah tidak boleh karena mengkonsumsi ganja secara ilegal itu tidak dibenarkan oleh hukum negara.
Ada satu kebiasaan unik yang terjadi bersamaan dengan penyajian kuah beulangong di acara-acara besar. Tradisi ini bernama Bu Rungkhom atau Bu Koeng. Bu adalah nasi, rungkhom atau koeng adalah kata yang merujuk pada istilah rebutan. Sayang sekali, tak ada sumber yang menyebutkan dengan jelas asal usul tradisi bu koeng dibuat di Aceh.
Di acara pernikahan, maulid nabi, atau kenduri di rumah duka, pasti ada masakan ini. Setelah kuah beulangong matang, para pria dewasa akan menggelar tikar plastik besar. Biasanya menggunakan tikar yang dijadikan alas jemur padi karena ukurannya cukup besar.
Di atas hamparan tikar itu, piring yang terbuat dari plastik atau piring kaleng bermotif bunga disusun rapi berisi nasi yang telah dimasak dalam jumlah besar. Lalu para lelaki akan bergantian mengambil kuah beulangong menggunakan ember plastik dan menuangkannya ke dalam piring.
Begitu ratusan piring tersebut telah terisi nasi dan kuah, seseorang akan memberi aba-aba. Para warga yang tadinya sudah menunggu langsung menyerbu. Inilah yang menjadi rujukan nama bu koeng atau beberapa daerah menyebutnya bu rungkhom. Mereka saling berebut mengambil piring yang berisi kuah serta daging paling banyak.
Meskipun demikian, tak ada nasi yang mubazir tertinggal atau terinjak. Bagi yang mendapatkan daging dan kuah paling sedikit bisa meminta tambah pada juru masak. Kendati demikian, tradisi itu terus berjalan karena proses rebutannya sangat menyenangkan.
Bisa dikatakan, tradisi kuah beulangong dan bu koeng merupakan pemersatu masyarakat segala kalangan. Tak peduli status, jabatan, jumlah kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki, semua sama. Warga kampung akan menyantap nasi dalam piring plastik atau piring kaleng bermotif bunga yang sama, lalu duduk berkerumun sembari bercengkerama.
Tradisi ini melambangkan persatuan. Kesederhanaan harus dipupuk dan dipelihara agar bisa menghargai antar sesama. Pada acara seperti inilah silaturahmi lebih terjalin. Jika hari-hari biasanya jarang bertemu karena pekerjaan atau sedang menempuh pendidikan, maka tradisi inilah yang mempertemukan mereka.
Tradisi semacam ini harus selalu dijaga agar Aceh Besar memiliki kuliner khas serta kebiasaan unik tersendiri dari daerah lain. Meskipun tak dapat dipungkiri, pasti ada tradisi serupa diberlakukan di Aceh bagian lain. Namun setiap persamaan, selalu ada perbedaan yang mengikutinya.
Kuah beulangong sendiri dulunya hanya bisa ditemui di acara tertentu saja. Akan tetapi, sekarang ada banyak rumah makan menyediakan menu tersebut. Baik itu rumah makan besar, maupun kedai kuah biasa di perkampungan. Harganya cukup terjangkau, rasanya pun tetap sama.
Alhasil, kuah beulangong bisa dinikmati kapan saja tanpa harus menunggu tetangga mengadakan acara. Zaman boleh berubah, teknologi bisa saja semakin berkembang, tetapi adat dan kebudayaan harus selalu terjaga sebagai warisan bagi generasi selanjutnya.
Oleh karena itu, masyarakat harus selalu melestarikan tradisi ini agar senantiasa terjaga. Apalagi saat ini ada banyak sekali kampung di Aceh Besar tidak lagi membuat bu koeng di acara kenduri. Tamu dari luar atau warga kampung tersebut diarahkan untuk makan di prasmanan. Semua disamaratakan.
Pemerintah juga diharapkan turut membantu menghidupkan salah satu budaya khas Aceh ini. Masyarakat harus diyakinkan, menjaga tradisi bukan berarti terpaku pada masa lalu atau ketinggalan zaman. Akan tetapi, akan sebuah kebanggaan karena bisa dipamerkan pada daerah lain, bahwa Aceh memiliki banyak ciri khas yang unik dan menarik.
Artikel ini telah tayang di Kompasiana dengan judul “Kuah Beulangong dan Bu Koeng, Warisan Khas Aceh yang Mendunia”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/rafidhahhanum7901/67a43a32c925c415827bc542/kuah-beulangong-dan-bu-koeng-warisan-khas-aceh-yang-mendunia?page=all