“Blue Print” Kurikulum Pendidikan Berbasis Kolaborasi dan Tantangan Besar di Baliknya

8 November 2019 | BBG News

Oleh: Agil S Habib

Dunia pendidikan tanah air beberapa waktu terkahir ini seakan menemukan euforia baru seiring terpilihnya sosok muda, kreatif, dan berpandangan jauh seperti Nadiem Makarim.

Menteri termuda dalam susunan kabinet Indonesia Maju ini memang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengubah “wajah” pendidikan di Indonesia.

Terlebih dengan keberadaan kita di era modern, era disrupsi, dan era digital seperti sekarang tentulah dibutuhkan kehadiran orang-orang yang memiliki keselarasan pandangan terhadap hal itu.

Dalam banyak pemberitaan dan juga tulisan saya terdahulu sudah seringkali disampaikan terkait rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) baru kedepan seperti melakukan public hearing dengan segenap elemen pendidikan tanah air untuk mengetahui seluk beluk kondisi pendidikan serta kebudayaan terkini.

Selain itu, satu hal yang paling patut disimak adalah mengenai gagasan tentang kolaborasi. Mas Nadiem ingin membawa dunia pendidikan di Indonesia ini menuju sebuah era baru yang disebut sebagai era kolaborasi.

Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh sepak terjangnya selama ini sebagai pelaku bisnis yang seringkali bersinggungan dengan konsep kolaborasi, economic sharing, dan sejenisnya. Pada era disrupsi ini kolaborasi adalah suatu keharusan.

Sekilas dari pernyataan Mendikbud terkait pendidikan berbasis kolaborasi dan juga dari pernyataan-pernyataan terdahulu yang pernah dilontarkannya semasa masih aktif sebagai CEO Gojek maka penulis di sini akan mencoba untuk menyarikan beberapa hal yang mungkin kelak akan menjadi pondasi atau pilar kurikulum pendidikan di Indonesia.

Dalam sebuah kesempatan seminar dimana Nadiem Makarim yang kala itu masih menjabat sebagai CEO Gojek pernah mengutarakan beberapa hal penting yang harus kita perhatikan dalam upaya kita mengarungi era digital ini dengan baik.

Poin-poin yang disampaikan oleh Mas Nadiem tersebut sepertinya sangat relevan untuk menjadi cikal bakal “blue print” kurikulum pendidikan yang mengedepankan prinsip kolaborasi dan digitalisasi.

Urgensi Penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Coding

Digitalisasi membuat batasan jarak menjadi tidak relevan lagi. Konteks persaingan tidak lagi berada dalam tataran domestik, akan tetapi sudah mencakup ranah lintas negara yang jauh lebih luas.

Perbedaan latar belakang budaya, gagasan, dan beragam hal lain adalah sesuatu yang mesti kita hadapi. Saat ini kita tidak hanya bersaing dengan sesama orang Indonesia saja.

Dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, atau Vietnam pun kita harus bersaing. Tidak hanya itu, digitalisasi juga membuat kita harus “bertarung” dengan orang-orang yang berada jauh dari tempat tinggal kita seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan mungkin seluruh negara di dunia ini. Batasan negara bukan lagi halangan untuk bersaing satu sama lain.

Selain persaingan yang sudah sangat terbuka, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berlangsung begitu cepat. Sumber perkembangan itu sudah tidak lagi didominasi oleh wilayah-wilayah tertentu saja, tetapi bisa dari berbagai tempat.

Untuk mengakomodasi hal itu maka yang kita butuhkan adalah akses. Kita butuh akses untuk mengetahui hal-hal baru yang terjadi diluar sana.

Kita butuh akses untuk bisa bersaing dengan siapa saja. Salah satu alat untuk membuat akses itu terjadi adalah dengan bahasa. Kita bisa tahu informasi apa yang terjadi di suatu wilayah di belahan dunia lain apabila kita memahami bahasa yang dipergunakan disana.

Dan kebetulan bahasa yang saat ini dipergunakan secara global adalah bahasa Inggris. Sehingga menjadi penting bagi kita untuk turut serta menguasai bahasa ini.

Namun apakah bahasa inggris saja cukup? Ternyata tidak. Mengapa? Kita kini berada di sebuah peradaban digital yang “mengharuskan” kita banyak beraktivitas di dunia maya. Saat ini mungkin kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya daripada di dunia nyata.

Waktu kita lebih banyak tersita untuk memelototi layar smartphone, memantau status media sosial, menonton dan berkomentar di youtube, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya kita beraktivitas di dunia maya itu adalah dengan memanfaatkan infrastruktur virtual seperti website, jejaring sosial (facebook, twitter, instagram, youtube, dan lain-lain), atau platform layanan (Gojek, Grab, Traveloka, dan lain-lain).

Semua infrastruktur virtual itu tentu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan dibangun oleh seseorang atau kelommpok tertentu. Dengan semakin seringnya kita mempergunakan infrastruktur virtual buatan orang lain itu, maka mereka yang membuatnya akan semakin diuntungkan.

Semakin sering kita menggunakan facebook, maka Mark Zuckerberg akan semakin diuntungkan. Semakin sering kita mengakses twitter, maka Jack Dorsey akan semakin kaya raya. Lalu mengapa tidak kita sendiri yang menjadi orang-orang seperti Mark Zuckerberg atau Jack Dorsey itu?

Oleh karena itu kita membutuhkan satu lagi kemampuan berbahasa, yaitu bahasa coding atau pemrograman. Hal ini penting agar kita mampu membangun infrastruktur digital kita sendiri.

Kita membangun infrastruktur yang bisa dimanfaatkan orang lain dan kita pun turut serta mendapatkan manfaatnya juga. Kemampuan berbahasa coding sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing.

Bagi mereka yang bergelut dengan dunia teknologi informasi, coding adalah “menu” sehari-hari yang selalu mereka santap.

Era digital ini tidak lagi mendikotomikan bahwa kemampuan bahasa coding semata hanya menjadi hak para programmer. Orang-orang awam yang ingin menancapkan eksistensinya di dunia digital juga harus mulai belajar akan hal ini.

Kurikulum baru yang mungkin nanti akan diluncurkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim sepertinya akan benar-benar mengakomodasi pengasahan dua bahasa ini sehingga para lulusan dunia pendidikan di Indonesia akan mempunyai cukup kemampuan untuk “berbicara” banyak diluar sana.

Pengetahuan Psikologi

Selama ini kita mungkin beranggapan bahwa psikologi hanyalah ranah para psikolog. Anggaran ini dulu mungkin benar, namun sekarang sepertinya anggapan itu harus ditinjau ulang. Berbaur dengan orang-orang beragam latar belakang tidak serta merta berlangsung mudah.

Terkadang ada hal-hal tertentu yang menjadi sekat pembatas sehingga hubungan yang terjalin menjadi canggung.

Dunia digital memungkinkan kita bertemu dengan orang dari berbagai suku, bangsa, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki karakteristik yang bisa jadi berbeda-beda satu sama lain. Inilah yang penting kita pahami.

Kita tidak selalu berlaku sama kepada setiap orang, kita tidak bisa menggunakan cara yang sama untuk bersosialisasi, dan bahkan kita tidak bisa menggunakan cara yang sama untuk melakukan komunikasi bisnis.

Preferensi seseorang sangat mungkin sekali berbeda dengan orang yang lain. Untuk itulah diperlukan pengetahuan untuk membaca psikologi seseorang. Karakter seseorang seperti apa harus disikapi dengan cara yang bagaimana.

Memahami psikologi akan membuat kita mampu bersikap secara tepat. Psikologi meliputi bahasan yang luas sekali. Ada pembacaan kepribadian, dan pengetahuan tentang kecerdasan emosi, dan lain sebagainya.

Mungkin kita tidak harus menjadi seorang ahli psikologi sebagaimana psikolog kebanyakan. Akan tetapi minimal dalam konteks apa kita aktif di dunia digital, maka hal itulah yang perlu kita dalami kajian psikologisnya.

Pengetahuan tentang psikologi barangkali oleh Mas Nadiem akan diberikan perhatian lebih karena hal ini memiliki korelasi erat dengan salah satu kecerdasan paling powerful yang dimiliki manusia, kecerdasan emosi.

Manfaatnya tidak semata dalam menunjang eksistensi di dunia digital, akan tetapi juga menyangkut karakter dan sikap seseorang dalam hidup sehari-hari.

Dengan wawasan yang luas tentang psikologi, hal itu bisa berarti ganda. Pertama, menjadi berkal berharga dalam eksistensi di era digital. Kedua, pengembangan karakter dan penguatan kecerdasan emosi.

Pengetahuan Statistik

Selama ini ketika membicarakan tentang statistik, maka yang seringkali terngiang adalah survei atau quick count. Padahal peranan statistik tidaklah sebatas itu. Jangkauan statistik masih sangat luas.

Keilmuan ini beberapa tahun lalu mungkin masih dipandang sebelah mata, namun seiring waktu dan terlebih ketika memasuki zaman digital peranan statistik terasa begitu penting.

Bahkan ada salah seorang pakar politik negeri ini yang menyatakan bahwa statistik atau survei adalah salah satu pilar demokrasi. Lantas apa hubungannya statistik dengan kurikulum pendidikan berbasis kolaborasi?

Kolaborasi adalah mempertemukan beberapa aspek uantuk saling bekerjasama satu sama lain sehingga menciptakan satu kesatuan layanan yang efisien dan efektif.

Contoh kolaborasi dengan mudah kita temukan saat ini. Gojek adalah sebuah platform aplikasi dengan ranah kerja meliputi transportasi, pesan antar, dan lain-lain.

Namun Gojek sebenarnya samasekali tidak memiliki armada sendiri untuk memberikan jasa transportasi, pesan antar, medis, dan lain sebagainya.

Gojek bekerjasama dengan para pemilik kendaraan yang bersedia mengantarkan orang, gojek bekerja sama dengan dokter-dokter yang mau melayani pasien. Gojek berkolaborasi dengan segenap penyedia layanan dan menjadi “fasilitator” para pengguna jasa. Inilah kolabrasi. Lalu dimana peranan statistik?

Orientasi utama dari suatu pelayanan adalah customer satisfaction. Mereka yang paling tahu keinginan pelanggan akan diuntungkan. Mereka yang lebih dulu tahu keinginan pelanggan akan menjadi yang terdepan dalam persaingan.

Dengan begitu banyaknya jumlah orang yang memerlukan pelayanan, sangatlah tidak mungkin untuk menanyakan keinginan mereka satu per satu. Cara yang paling memungkinkan adalah melalui sampling. Sampling adalah bagian statistik.

Namun terkadang ada orang-orang tertentu yang sebenarnya menginginkan sesuatu tertentu tetapi tidak tahu apa yang mereka inginkan. Atau bisa jadi mereka sendiri sebenarnya tidak ingin apa yang menjadi kebutuhan mereka diketahui oleh orang lain.

Statistik bisa membaca indikator kecil menjadi sesuatu yang mewakili kondisi keseluruhan. Mungkin bisa diibaratkan kalau ilmu statistik ini bekerja laksana deduksinya Sherlock Holmes.

Mendikbud Nadiem Makarim dengan prioritasnya melahirkan generasi yang siap bersaing di era digital tentu tidak akan melewatkan sesuatu yang penting seperti statistik ini.

Namun sepertinya pada level pendidikan yang mana pengetahuan akan statistik diperlukan masih perlu kajian lebih lanjut.

Anti Nasionalisme Sempit

Sebagai warga negara yang baik, memiliki jiwa nasionalis adalah suatu keharusan. Terlebih di era keterbukaan seperti sekarang, loyalitas terhadap tanah kelahiran adalah sesuatu yang sangat berharga.

Mengedepankan karya anak bangsa, prioritas produksi dalam negeri, dan beberapa jargon lain terkait nasionalisme sudah sering digaungkan. Namun nasionalisme “model” apa yang benar-benar kita perlukan dan tidak kita perlukan?

Beberapa waktu lalu sempat mengemuka sebuah wacana terkait rektor perguruan tinggi yang akan didatangkan dari luar negeri. Sontak wacana ini dikritik beberapa kalangan karena menganggap hal itu tidak nasionalis dan mengabaikan putra-putri terbaik bangsa sendiri.

Apakah pandangan seperti itu memang benar adanya? Dalam beberapa hal mungkin iya. Namun jika kita mau melihat sisi positif dari usulan itu sebenarnya ada manfaat besar yang bisa kita petik.

Salah satunya yaitu terkait kemungkinan untuk melakukan transfer ilmu dari pendidikan asing yang memang berkualitas. Transfer ilmu itu mutlak diperlukan apabila kita ingin berkembang menjadi lebih baik.

Beberapa korporasi mungkin ada yang anti terhadap tenaga ahli dari luar negeri. Namun ada juga korporasi yang gencar mendatangkan tenaga-tenaga ahli atau engineer dari luar untuk memperkuat pengembangan bisnis korporasi tersebut.

Kedatangan para ekspatriat itu bukan dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk meraup sebanyak mungkin pengetahuan yang mereka miliki.

Seiring berjalannya waktu, transfer ilmu itu akan semakin menguntungkan bagi diri kita sendiri hingga pada suatu titik tertentu kita sudah benar-benar tidak lagi membutuhkan keberadaan mereka.

Pengetahuan yang selama ini ditransfer dari tenaga ahli dari luar itu sudah caukup diserap dan dikembangkan sendiri. Anti asing dalam beberapa hal tertentu pastilah diperlukan.

Hanya saja kita tidak bisa menjeneralisir terhadap semua aspek. Pada beberapa hal tertentu perlu bagi kita untuk berkolaborasi dengan orang asing agar tercipta transfer ilmu yang menjadikan kita saba baiknya atau bahkan lebih daripada mereka.

Mas Nadiem tentunya berharap bahwa nasionalisme peserta didik tetap tinggi. Namun pemahaman tentang nasionalisme sempit juga akan disampaikan. Tujuannya jelas, pembangunan sebuah bangsa membutuhkan benchmark dari luar yang kondisinya lebih maju.

Pilar utama kurikulum berbasis kolaborasi adalah mementingkan penguasaan bahasa inggris dan bahasa coding, pengetahuan psikologis, pengetahuan statistik, dan pemahaman tentang anti anti nasionalisme sempit.

Pilar-pilar inilah yang mungkin akan diupayakan Mas Nadiem untuk menjadi bagian penting dalam upaya pengembangan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.

Namun gagasan tersebut sepertinya tidak akan berjalan semudah membalik telapak tangan dalam implementasinya mengingat masih adanya kendala besar yang menjadi penghambat.

Kendala ini adalah tantangan besar yang harus segera diselesaikan oleh Mas Nadiem agar gagasan besarnya tentang kurikulum berbasis kompetensi mampu dijalankan sesuai rencana. Apa saja tantangan besarnya itu?

Tantangan Besar Dunia Pendidikan Indonesia

Satu hal yang selama ini masih terus bermasalah adalah terkait infrastruktur pendidikan. Masih cukup banyak infrastruktur pendidikan yang belum sepenuhnya layak seperti gedung-gedung yang bobrok dan tidak layak pakai.

Terbaru, kita mendapatkan pemberitaan terkait SD Gentong di daerah Pasuruan, Jawa Timur gedungnya roboh dan menimpa sejumlah siswa dan guru.

Dilaporkan akibat robohnya gedung sekolah itu salah seorang guru dan seorang siswa meningga dunia akibat tertimpa runtuhan gedung. Sebuah ironi yang tentunya perlu mendapatkan perhatian ekstra dari Kemendikbud.

Belum lagi sekolah-sekolah dengan akses yang sulit seperti di beberapa wilayah pedalaman dimana masih ada siswa-siswi sekolah yang masih harus berjuang keras menerjang sungai, menyeberangi jembatan rusak, menembus hutan belantara demi menuju tempat mereka bersekolah.

Apakah kondisi-kondisi seperti ini layak untuk menopang gagasan sistem pendidikan ala Mas Nadiem?

Dengan orientasi Mendikbud yang mengedepankan konsep digitalisasi, hal itu bisa jadi hanya relevan diterapkan pada beberapa sekolah yang berada di kota-kota besar dengan fasilitas Information Technology (IT) yang mumpuni.

Namun konsep itu akan bermaslah ketika coba diimplementasikan di tempat-tempat pendidikan yang berada di wilayah pedalaman dan infrastruktur yang terbatas.

Apakah hal ini juga sudah difikirkan? Prosesi public hearing yang dilakukan Mas Nadiem selama 100 hari masa kerjanya ini hendaknya tidak sebatas dilakukan di wilayah-wilayah ramai dan berakses mudah.

Akan tetapi hal itu juga perlu dilakukan di lokas-lokasi pendidikan yang terpencil dengan bejibun kendala didalamnya. Sehingga solusi yang nanti dirumuskan mampu mengakomodasi segala situasi dan kondisi pendidikan di tanah air.

Selain kendala di bidang infrastruktur, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengajar juga perlu diperhatikan. Sangatlah tidak mungkin untuk mengajari peserta didik pengetahuantentang bahasa inggris, coding, psikologi, statistik, dan anti nasionalisme sempit jikalau guru-gurunya sendiri tidak memahami hal itu.

Pengetahuan para guru harus diperbaiki, wawasan guru harus diperluas, dan mindset para pengajar itu harus diselaraskan dengan zaman. Disruptive mindset sangat penting untuk dimiliki oleh para pengajar di segenap institusi pendidikan.

Bukan hanya pada level sekolah dasar atau sekolah menengah saja, akan tetapi juga sampai pada tataran perguruan tinggi.

Membangun aspek soft didalam diri para pengajar memang penting dilakukan. Akan tetapi hal itu tidak akan bisa berjalan lancar apabila tidak ditunjang dengan aspek hard.

Apa itu aspek hard? Kesejahteraan guru atau pengajar. Pikiran para pengajar haruslah “dilepaskan” dari kekhawatiran terkait aspek kehidupan pribadinya seperti ekonomi, karir, dan sebagainya. Hal ini diperlukan agar fokus mereka sepenuhnya tercurahkan pada pengembangan peserta didik.

Secara garis besar mungkin tantangan utama pendidikan kita adalah terkait infrastruktur dan kesiapan SDM pengajarnya. Akan tetapi dari dua hal itu masih ada banyak lagi “turunan” masalah yang mesti diselesaikan oleh Mendikbud berikut jajarannya.

Kualitas Nadiem Makarim akan benar-benar teruji disini mengingat problematika pendidikan kita sepertinya jauh lebih rumit daripada problematika bisnis yang selama ini menjadi bagian perjalanan Mendikbud kita.

Namun justru hal itulah yang nantinya menjadi parameter sebegarap layak Mas Nadiem dihargai dan diapresiasi dalam menunaikan masa jabatannya selama beberapa waktu ke depan.

Artikel ini telah tayang di Kompasiana dengan judul “Blue Print Kurikulum Pendidikan Berbasis Kolaborasi dan Tantangan Besar di Baliknya”, https://www.kompasiana.com/agilshabib/5dc37c7c097f3619c64933a2/blue-print-kurikulum-pendidikan-berbasis-kolaborasi-dan-tantangan-besar-dibaliknya?page=all.

Bagikan
Skip to content