Syariat Islam Berdiri Setengah Tiang

19 April 2018 | BBG News

Oleh : Muzirul Qadhi

Akhir-akhir ini polemik tentang penegakan syariat Islam di Aceh mulai tergoyangkan. Mungkin kita semua bisa melihat di beberapa media massa cetak dan elektronik tentang pemindahan hukuman cambuk dari tempat terbuka ke Lembaga Permasyarakatan (LP).

Persoalan ini menjadi kontroversi yang sangat sengit, baik itu di kalangan pemerintah maupun masyarakat kalangan bawah. Bagaimana tidak, syariat Islam di Aceh yang dulunya begitu banyak disanjung oleh negara-negara Islam di dunia akhir ini menjelma menjadi kebingungan yang berakibat timbulnya citra buruk Aceh di mata dunia.

Di 13 tahun masa perdamaian Aceh ini, seharusnya perkembangan dan peningkatan kapasitas syariat Islam semakin terintegritas bukan malah semakin merosot. Coba kita lihat kasus baru-baru ini di Aceh. Sangat populer kasus prostitusi online, perjudian dan sebagainya. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari Pemerintah Aceh dan pihak terkait tentang penegakan syariat Islam di Aceh. Apakah masih ada keseriusan…?

Kalau Pemerintah Aceh serius menegakkan syariat Islam, tentunya tidak hanya pada hukuman Cambuk (Ugubat) saja, tetapi juga adanya tingkatan ke jenjang yang lebih tinggi seperti hukuman cambuk bagi Pidana Korupsi, Suap dan lain sebagainya. Sehingga menunjukkan ada ada peningkatan secara berkala yang dilakukan pemerintah, bukan malah menyembunyikan para pelanggar syariat Islam hingga terjadinya penghapusan pada syariat islam di Aceh, makanya saya berpendapat bahwasanya syariat islam di Aceh berpotensi “Karam” (tenggelam).

Di dalam penegakan syariat Islam tidak ada kata pandang bulu, semua sama rata. Jangan gara-gara saudara si penjabat, eh malah dilepaskan. Ini sungguh tidak adil dan dapat memberikan dampak negatif bagi masyrakat Aceh.

Masyarakat Aceh sudah sejak lama memperjuangkan syariat Islam Aceh ke Pemerintahan Pusat. Salah satunya disahkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 oktober 1999. Ditambah lagi dengan berlakunya UUPA Nomor 11 tahun 2006 menambah kekuatan hukum terhadap syariat Islam yang menjadi dambaan masyarakat dari sejak dulu.

Kita masyarakat Aceh patut bersyukur dan berbangga dengan apa yang telah dimiliki Aceh saat ini. Namun yang menjadi persoalan hari ini adalah bagaimana amanah UUPA Aceh tersebut diimplementasikan secara permanen oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jangan menjadi bahan konflik di berbagai kalangan yang  mengakibatkan adanya keraguan dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintahan Pusat maupun Pemerintah Aceh. Ini perlu kajian secara luas bagi kita semua, jangan sampai hilangnya kepercayaan masyarakat mengakibatkan tumbuhnya kembali ideologi Aceh Merdeka.

Masyarakat Aceh banyak menaruh harapan besar kepada gubernur Aceh  Bapak Irwandi Yusuf, bagaimana tatanan syariat islam yang selama ini tersusun rapi agar tidak dicampur adukkan dengan kepentingan politik dan investasi, marwah Aceh tetap kita junjung tinggi tanpa ada hidden intervensi dari pemerintah pusat, ataupun mungkin adanya tawaran investasi dari pihak tertentu dengan mengorbankan marwah Aceh di mata dunia.

Hari ini di Aceh tidak henti-hentinya persoalan syariat Islam diperbincangkan. Belum lagi selesai persoalan PSK online, kemudian dihebohkan lagi dengan persoalan pelaksanaan (Ugubat) yang baru-baru ini menjadi trending topik di warung kopi dan media masa. Padahal pelaksanaan hukuman (Ugubat) sudah diatur dalam Pasal 262 Ayat (1) Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukuman Acara Jinayat yang berbunyi : Ugubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir, tetapi Undang – undang tersebut hari ini dikaitkan dengan kepentingan investasi yang mengakibatkan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Acara Hukum Jinayat. Ini artinya pemerintah secara perlahan mempersempit ruang gerak syariat Islam di Aceh, yang mungkin lambat laun akan terhapuskan dan syariat Islam di aceh berdiri setengah tiang.

Pelaksanaan hukuman cambuk di LP dan di tempat terbuka jelas berbeda teknisnya. Ruang gerak masyarakat sudah jelas sempit untuk menyaksikan secara langsung dan mudah terjadinya tawar menawar hukuman. Seharusnya kebijakan Gubernur tersebut perlu musyawarah khusus dengan pihak-pihak terkait seperti DPRA, MPU, Tokoh Adat, Tokoh masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh akademisi serta para Ulama Aceh. Agar kebijakan yang diambil dapat menyerap seluruh aspirasi dari kalangan masyarakat.

Kita berharap polemik ataupun persoalan seperti ini jangan menjadi bahan kelola konflik bagi Gubernur, terlebih Gubernur Aceh sangat sering mengeluarkan kebijakan yang bersifat kontroversi yang dapat mengakibatkan kegaduhan serta kenyamanan elekstabilitas masyarakat yang begitu menurun.

Semoga ke depan Pemerintah Aceh, khususnya Bapak Gubernur lebih bijak lagi dalam mengambil suatu kebijakan dengan melibatkan semua pihak terkait, demi kenyamanan dan keamanan elekstabilitas Provinsi Aceh.[]

Muzirul Qadhi adalah Wakil Presiden Mahasiswa STKIP BBG Banda Aceh.

Sumber: http://acehnews.co/syariat-islam-berdiri-setengah-tiang.html

Bagikan
Skip to content