Kertas Derita

25 Mei 2018 | BBG News

Cerpen : Rini Tri Novita

Tiada hari tanpa buku dan pulpen ditanganku. Tiada hari tanpa ide-ide yang kutuangkan ke dalam buku kesayanganku apa yang kulihat, apa yang kurasa, semuanya kutulis dalam buku yang bercorak merah kehitam hitaman. Membayangkan hal-hal yang menyenangkan membuat pulpen menari nari diatas lembaran lembaran kertas putih tanpa noda. Aku begitu dekat dengan bukuku,seakan kami pasangan yang tak terpisahkan, kumulai menulis rangkaian kata-kata indah, cerita penuh makna. Aku bahagia dalam setiap keadaan aku dapat menuangkannya kedalam buku ini aku bahagia akan hal itu.

Hidup kami yang pas-pasan membuat Ibu selalu mengeluh, Ibu tak pernah mensyukuri nikmat yang Allah berikan pada kami padahal kalau dilihat lebih detail, hidup kami jauh lebih baik dari orang diluar sana. Bahkan, orang yang lebih susah dari kami tak semengeluh Ibu, Ibu terlalu menyalahkan keadaan. Kehidupan kami berubah semenjak meninggalnya Ayah dan Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga setelah, itulah yang membuat Ibu selalu mengeluh dan emosional sepulang kerja karena barang dagangannya tak terjual habis, tapi apa mau dikata itu semua memang sudah diatur oleh sang maha kuasa atas rezeki apa yang kita dapatkan hari ini, besok, lusa, maupun seterusnya. Aku seorang anak tunggal merasa kasihan melihat Ibu pergi pagi pulang sore dengan sedikit duit ditangan dan letih yang dirasa.

Aku hanya bisa membantu Ibu sekedarnya saja karena aku juga masih sekolah, sekolah lebih kuutamakan dari yang lain dan Ibu mendukung hal itu. Cita citaku ingin jadi seorang penulis, aku ingin menjadi penulis yang hebat, mampu menyaingi para penulis yang lain, bisa menjadi orang yang berguna melalui tulisanku, aku bangga terlahir sebagai anak yang hobi menulis. Dari kecil aku selalu mengidolakan para Sastrawan-sastrawan hebat, mereka hebat dalam segala hal aku ingin seperti mereka aku ingin mengikuti jejak mereka, jejak yang membawaku menuju kesuksesan.

Seiring berjalannya waktu, kemahiranku dalam menulis semakin baik, aku mulai banyak memikirkan ide- ide bagus untuk memperindah tulisanku, ide itu bak air mengalir dikepalaku. Sungguh aku sangat bahagia. Aku menulis sedikit demi sedikit, sekata demi sekata, kalimat demi kalimat hingga terciptalah sebuah karya. Aku tak mengenal waktu dan tempat aku tak menghiraukan apa yang tengah terjadi aku hanya fokus satu tujuan menciptakan tulisan yang disukai orang dan membuat orang hanyut dalam ceritaku. Nia, sahabt dekatku yang paling mengerti aku, dia sangat mendukung dalam hal ini, dia yakin suatu hari nanti namaku akan dikenal oleh orang banyak dan bukuku akan ada dimanapun. Berkat motivasi dari Nia aku selalu menulis, aku sangat senang berteman dengannya.

Pagi ini Nia menjemputku dari rumah, Nia sengaja menjemputku karena ingin mengerjakan tugas bersama, Nia tahu aku selalu terlambat kesekolah karena jarak yang ditempuh cukup jauh aku juga hanya menggunakan sepeda dayung lain halnya dengan Nia yang pakai motor kesekolah, aku juga berharap bisa punya motor layaknya Nia, tapi harapanku gugur bila mengingat kehidupanku saat ini. Aku tak pernah mengeluh,biarkan waktu saja yang  menjawabnya. Sepulang sekolah kami langsung menuju taman tempat biasa kami nongkrong, disebuah pondok nan indah kami mulai mengerjakan tugas sekolah, Nia mulai mengerjakan tugas dan aku mulai mengayunkan tangan dibuku kesayanganku, Nia tak pernah protes dengan apa yang kau kerjakan, kami mulai sibuk dengan kegiatan masing masing.

“Kamu begitu semangat menulis, kamu yakin bisa sukses hanya dengan itu?”Ujar Nia yang tiba-tiba menanyakan hal aneh padaku.

“Kamu kok nanyanya gitu?, memangnya kamu tidak yakin aku akan sukses melalui ini!” Ujarku padanya kembali bertanya.

“Aku sih yakin, tapi kamu jangan hanya terfokus pada bidang itu saja. Kan, kamu masih sekolah” Ujarnya padaku.

“Iya, aku tahu. Aku juga tidak lupa kalau aku masih sekolah, aku bisa menyeimbangkannya”Ujarku sembari menulis kembali.

Betul apa yang dikatakan Nia, aku jangan hanya terfokus pada satu bidang, aku harus ingat aku masih sekolah, aku harus selesai disekolah sehingga aku dapat menaiki jenjang selanjutnya.

***************

Bu Rosa guru sastra yang sangat aku sukai dia banyak memberiku ilmu tentang sastra terutama dalam hal menulis, menuangkan ide-ide dalam tulisan, penulisan yang baik dan benar. Pokoknya, bu Rosa itu guru favoritku banyak hal yang aku tahu darinya. Dia juga tahu aku hobi menulis setiap karya yang aku ciptakan dia selalu membacanya walau banyak kesalahan didalamnya, tapi dia memakluminya dia tahu aku seorang penulis perdana mengawali karir yang baru dia paham akan hal itu.

Matahari terbit perlahan lahan, sinarnya menerobos jendela kamarku tampak indah sekali, aku pun terjaga dari malam yang panjang tak lupa disampingku selalu ada buku yang menemaniku, menemani dalam kondisi apapun, tiada hari tanpa buku, itulah kata kata indah yang selalu aku ucapkan. Hmm, bagaiman tidak, pendampingku selain buku kan tidak ada lagi. Aku bersiap siap berangkat kesekolah Ibu sudah menyiapkan makanan untukku sekaligus bekal yang aku bawa kesekolah Ibu tak pernah absen memberiku bekal, apa boleh buat aku harus membawanya walau aku sedikit malu pada teman-temanku karena cuma aku yang dibekali makanan kesekolah. Sering teman-temanku menertawaiku karena bekal yang aku bawa, mereka mengira aku seorang anak mami yang manja dan bergantung pada orang tua.Mereka tidak mengerti aku, ya sudahlah biarkan saja mereka seperti itu.Toh, yang merasakan juga aku bukan mereka.

Tak sabar ingin sampai disekolah, aku ingin segera bertemu Bu  Rosa ingin menunjukan ceritaku yang baru aku buat semalam penuh. Cerita yang menggambarkan kisah piluh keluarga miskin, pasti seru apabila Bu Rosa yang langsung membacanya. Aku tak sabar mendengar komentar dari mulutnya yang mungil itu apa pendapatnya tentang cerita  yang baru kubuat?, apakah aku sudah bisa dikatakan seorang penulis yang handal atau belum!.

Pucuk dicinta ulanpun tiba aku dipertemukan dengan Bu Rosa  yang hendak mengajar diruangan kelas X. Tak menyia-nyiakan waktu, aku langsung menyerahkan cerpenku padanya, dia tahu apa maksudku dia sangat memahamiku, akupun berlalu meninggalkannya. Lonceng sekolah berbunyi menandahkan waktu istirahat bagi semua murid tak terkecuali aku, aku langsung menghadap Bu Rosa ingin mengetahui perihal cerpenku tersebut. Dia sudah tahu kedatanganku, diapun menyambutku dengan mempersilakanku duduk diruangannya yang persegi empat itu kamipun berbincang-bincang masalah cerpenku.

“Nampaknya cerpenmu semakin bagus saja”Ujar Bu Rosa sembari menganalisis lagi cerpen yang kubuat.Ucapan terimakasih pun aku lontarkan padanya.

“Kamu harus lebih giat lagi dalam hal ini, Ibu yakin kamu bisa menjadi penulis yang hebat kalau kamu ada niat”katanya lagi padaku.

Aku keluar dari ruangan Bu Rosa dengan membawa senyuman diwajahku sambil sesekali tertawa karena bahagia, kutebarkan senyuman dan wajah bahagia kepada siswa yang berpaspasan denganku, mereka bingung dengan tingka lakuku yang aneh, mungkin mereka mengenggapku gila, aku tak menghiraukannya.

Angin sepoi sepoi tertiup lembut diwajahku yang tengah duduk manis dihalaman rumahku sembari menulis cerpen-cerpen terbaruku. Aku ingin menulis cerita-cerita terbaru sehingga Bu Rosa akan memberi bagus lagi padaku. Ibu yang sejak kemarin melihatku sibuk menulis cerpen tiba-tiba menghampiriku dan mengambil bukuku lalu merobek-robeknya dihadapanku. Lembaran demi lembaran beterbangan didepan mataku, Ibu merobek-robeknya dengan penuh amarah.

“Ibu kan sudah bilang padamu jangan pernah menulis cerpen lagi tapi kamu tidak mendengarkan omongan ibu,sekarang kamu menulis cerpen yang tidak berguna ini”ujar ibu dengan penuh amarah. Aku hanya bisa terdiam tak mengeluarkan sepatah katapun, lalu ibu melanjutkan amarahnya.

“Ibu tidak ingin melihatmu menulis cerpen lagi, sekarang kamu harus fokus dengan sekolahmu, ibu tidak ingin kamu tinggal kelas apalagi sampai tidak lulus sekolah hanya gara-gara kamu lebih mementingkan menulis cerpen daripada belajar”ujar Ibu dengan wajah memerah berlalu meningkanku.

Aku menangis tak henti-hentinya melihat kerja kerasku selama ini sia-sia, melihat lembaran-lembaran yang penuh dengan cerita hancur dihadapanku. Aku seperti terjatuh dari langit ketujuh yang mana Bu Rosa memujiku yang penuh talenta dan seorang Ibu menghancurkannya dengan mudah. Ibu selalu berfikir bahwa menulis hanya membuar-buang waktu  dan hal yang tidak bermanfaat. Kini, aku hanya terfokus pada sekolah, belajar dan terus belajar sehingga aku lulus dengan hasil yang memuaskan. Tentang cerpenku, aku kubur dalam-dalam dan melupakan tentang apa yang aku lakukan sebelumnya. Mungkin, inilah suratan yang ditakdirkan untukku.

 

Rini Tri Novita, Mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

Bagikan
Skip to content