Gubuk Bahagia

12 Mei 2018 | BBG News

Cerpen : Rini Tri Novita

Dapur itu masih tampak sama setahun silam aku tinggalkan. Begitu juga dengan yang lainnya, masih tertata rapi pada tempatnya semula.  Semua tak ada yang berubah sama sekali. Hanya saja debu dan sarang laba laba menggerogoti tempat itu. Tak hanya dapur yang aku saksikan. Ruangan lain pun kujelajahi satu persatu, mulai dari dapur, ruang tamu, kamar,bahkan ruangan kesayanganku dulu yang tak boleh ada siapapun masuk kecuali aku. Sungguh sedih jika diingat. Ruangan itu aku rawat dengan sangat baik, kutata rapi barang barangku di sana. Kotoran saja tak terlihat sama sekali. Bahkan, cicak pun tak terdengar suaranya. Aku orang yang sangat perhatian akan hal hal kecil. Kini, ruangan itu menjadi rumah bagi para mahluk mahluk kecil, menjadi tempat kediaman mereka. Bahkan aku tak berhak untuk mengambilnya kembali. Kaca kaca ruangan itu telah buram. Lantai lantainya begitu kotor, ruangan itu bak kapal pecah. Aku menatap sedih yang menimpa rumah itu. Andai ia dapat berbicara, ia akan memaki maki diriku karena telah menyia-nyiakannya.

Rumah itu kutinggalkan dengan sejuta kesedihan. Aku menuju taman tempat biasa aku bermain dulu, tempat dimana aku menghabiskan waktu disana, tempat dimana kau sering bersembunyi karena takut dimarahi Ibu, tempat dimana aku lebih banyak menghabiskan waktu ditaman daripada bersama teman teman yang sering mengajakku keluar. Taman itu juga menjadi saksi dimana Ayah dan Ibu mengakhiri hubungan mereka yang dibina selama dua puluh tahun.

Kini taman itu telah rusak seiring berjalannya waktu. Rumput dan ilalang hampir sama tingginya. Kini taman itu benar benar hancur. Bunga bunga kini layu akibat kekeringan lalu dedaunan berjatuhan menutupi mereka” Sungguh menyedikan nasib kalian”.  Aku duduk di ayunan yang terbuat dari besi dengan pahatan yang indah, diukir nuansa india, diwarnai bak pelangi yang melintang dilangit suria, ayunan itu bak singgasana raja. Kakiku mulai berayun perlahan lahan seakan memori itu kembali lagi diingatan. Kuingat semua kenangan di masa lampau, kuingat suara Ayah yang tertawa terbahak bahak, kuingat kakek mencari tongkatnya yang kusembunyikan, juga ingat Nenek yang bawel menyuruhku makan, kuingat keluarga kecil kami dulu, semua itu seakan tampak dihadapanku, dipelupuk mataku, diingatanku, semua memori yang telah sirna muncul kembali, kembali mengenang saat bahagia.

Angin membuatku meneteskan air mata mengalir dipipi kanan dan kiriku seakan angin menyatu dengan jiwaku. Hembusan angin mengantarkanku pada mimpi mimpi indah membuatku hanyut didalamnya. Rasanya tidak ingin berlalu dari mimpi itu. Tapi aku terjaga dengan seribu satu keheranan, bermunculan pertanyaan menggeluti pikiranku, dimana aku berada, tempat apa ini, seingatku aku berada ditaman tua peninggalanku. Tapi apa yang terjadi aku kini  sudah berada disebuah tempat yang bahkan aku sendiri tak tahu harus menyebunya apa, yang kau tahu ini seperti sebuah bilik.

 

Aku tak bisa menggerakkan kakiku,kakiku kaku tak berdaya. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? pertanyaan tanpa ada jawaban. Mataku menerawang setiap sudut ruangan, ruangan yang begitu kecil lagi sempit, terbuat dari rotan tua yang hampir punah, rumah yang bahkan tak memiliki plafon berlantaikan tanah. Aku terus mencoba menggerakkan kakiku berharap kakiku bisa bergerak seperti sediakala. Perjuangan yang membutuhkan tenaga. Tapi semua itu nihil. Aku menyerah pada keadaan. Aku hanya berharap ada seseorang yang dapat menolongku. Benar saja hal itu terkabulkan. Seseorang membuka pintu perlahan lahan. Pintu itu sudah rusak suranya.  Aku memperhatikannya dengan seksama takkan kulemparkan pandanganku  pada yang lain. Aku harus tahu siapakah sesosok misterius di balik pintu usang itu.

Jelas saja dia seorang Nenek tua renta, bungkuk dibelakangnya seperti gunung,wajahnya menampakkan garis garis  tak terhitung, hampir tak ada satupun rambut hitam dikepalanya, dan pakainnya sesuai dengan usianya. Di tangannya ada sebuah mangkuk milinium, perlahan lahan ia mendekatiku dengan bantuan tongkat ditangannya. Aku semakin takut dibuatnya kalau kalau dia orang jahat hendak melukaiku atau membunuhku di tempat sunyi lagi mengerikan ini. Sungguh aneh, mulutku tak mengeluarkan sepatah katapun aku diam membisu tak bersuara.

Dia menyodorkan mangkuk itu padaku. Aku tak mengambilnya. Aku takut ada racun didalamnya, begitulah firasat burukku terhadapnya. Tangannya yang lemah mulai menunjukkan getaran menandakan sudah tak sanggup memegang mangkuk yang ia sodorkan dari tadi padaku. Aku tak tahu mengapa ia tak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak ia masuk kedalam bilik. ”Apa mungkin dia bisu?” tanyaku dalam hati. Ingin sekali aku mengambil mangkuk dari tangannya, tapi saban waktu seakan membisikkanku untuk tidak mengambilnya. Aku pun tetap pada pendirianku.

Dengan tangan agak gemetar nenek itu meletakkan mangkuk miliniumnya di atas sebuah meja berdebu di dekatku. Sebenarnya tak pantas disebut sebuah meja karena meja itu tinggal menunggu waktu untuk hancur. Meja itu lebih tepatnya dinamakan sebagai tumpukan kayu yang menyerupai sebagai meja. Dia meninggalkaku sendiri dibilik, aku yang sudah tidak bertenaga terbujur kaku hanya menanti waktu untuk menjawab pertanyaanku.

Siang ditelan malam, aku masih tetap pada posisi sediakala begitu juga dengan mangkuk milinium itu. Rasa haus menggerogoti kerongkongan, aku mulai merasakan dahaga, awalnya aku gengsi dengn mangkuk itu, tapi sekarang rasa gengsi itu hilang karena haus yang tiada tara. Aku meminum air bening itu sampai habis tak perduli ada sesuatu di dalamnya atau tidak yang penting rasa haus ini hilang urusan racun itu kudian.

Hilanglah sesaat kenikmatan itu,kini timbullah masalah baru yaitu perutku,cacing didalam perutku seakan mengisyaratkan mereka butuh sesuatu, akupun paham akan hal itu. “Apa yang harus aku lakukan, aku tak bisa bergerak, aku sangat lapar!” Ujarku sembari mengelus elus perut.

Rezeki tak akan kemana aku percaya pepatah itu dan memang betul sesaat nenek tua rentah itu masuk kedalam bilik utnuk yang kedua kalinya. Kali ini bukan hanya mangkuk milinium yang ia bawa melainkan dengan sepiring nasih lengkap dengan pasangannya, aku senang sekali. Kali ini aku tak perduli apakah ada racun atau tidak kalau sudah disajikan padaku, akan kusantap semuanya.

Nenek itu memberiku makanan, tanpa menunggu lama aku langsung menyantapnya. Dia tersenyum tipis padaku seolah dia tahu aku sangat lapar. Dia menatapku dengan seksama. Aku tak menghiraukan hal itu yang penting cacing diperutku tak menuntuk lagi.

Setelah semua makanan telah masung kedalam perutku aku memberanikan diri untuk berbicara padanya. “Sebenarnya nenek ini siapa, dan dimana kau sekarang?” Ujarku padanya. Dia masih tersenyum tipis padaku, aku terus mengajaknya berbicara, aku harus mendapat jawaban darinya.

“Apakah ini rumah Nenek? kenapa nenek hidup sendiri di rumah tua ini, di mana keluarga nenek yang lain!”ujarku padanya sembari menggerak gerakkan kakiku.

Aku seperti orang yang berbicara pada tembok, aku mulai agak kesal dibuatnya, kekesalan itupun sangat tampak diwajahku mungkin dia merasakan hal itu. Tak berapa lama akhirnya dia mengeluarkan kata kata dari mulutnya. Dia mulai berbicara perlahan lahan.

“Kamu pasti bingung kan  kenapa kamu bisa ada di sini dan tempat apa ini?”ujar nenek renta itu padaku. Aku mulai tersenyum sedikit akhirnya dia mau juga berbicara denganku, dia melanjutkan pembicaraannya yang terputus.

“Nak, nenek menemukanmu disebuah taman, Nenek lihat kamu pingsan, Nenek lalu membawamu kerumah Nenek dan kakimu tidak bisa bergerak karena tertimpah tonggak ayunan yang awalnya kamu tempati’’ujar sang nenek dengan nada lembut.

Kini aku sudah mengerti bagaimana aku bisa berada disini, mungkin aku terlalu lama duduk diayunan itu sampai aku tak sadar ayunan itu akan roboh. Jelas dia roboh, ayunan itu sudah sangat lama dan tua memang sudah pantas untuk diganti sebenarnya, tapi karena aku menyukai ukirannya, aku tak mengizinkan Ayah dan Ibu menggantinya. Kini, aku sendiri yang kena batunya.

“Nak, kalau Nenek boleh tau kamu berasal darimana?, bagaimana kamu bisa berada dirumah yang sudah lama tidak dihuni itu!”Ujar nenek padaku. Aku terdiam sesaat lalu menjawab pertanyaan sang Nenek.

“Sebenarnya saya yang mempunyai rumah itu tapi tak lama kami huni karena suatu sebab, lalu saya dan keluarga pindah kekota”Ujarku pada sang Nenek.

Tak banyak kisahku kuceritakan padanya. Bahkan, aku juga tak menceritakan perpisahan Ayah dan Ibu, aku hanya tidak ingin aib keluargaku  berdengung ditelinga orang itu hsnys sksn membuat hatiku sembilu luka yang kian berkarat.

Suasana malam itu terasa dingin, dinginnya menusuk kalbu, aku hanya mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans warna biru itu tak mampu menahan dinginnya malam. Aku mengelus elus badanku biar hangat, tapi apa mau dikata angin malam lebih pintar dari yang kubayangkan. Dia mampu menembus sela sela yang kututupi, apa boleh buat dibilik itu tak ada sehelaipun kain utnuk membalut tubuh, tak ada satupun harapan untuk melawan malam yang panjang. Aku tidur disebuah kasur yang sangat lembek dan tak layak pakai, kasur yang sangat lama dan usang. Berbantalkan tangan mengantarkanku kesebuah mimpi yang amat mengerikan, aku tak dapat melukiskannya dengan kata kata bahwa aku sedang terkurung disebuah ruangan yang amat sempit, bau, dan berserak. Aku teriak, kukeluarkan semua tenagaku memanggil seseorang untuk membantuku mengeluarkanku dari tempat itu, lama aku teriak bahkan suaraku hampir tak terdengar lagi namun tak satu pun orang mendengar keluhanku, mendengar jeritan orang yang membutuhkan. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk keluar dari tempat itu tetap saja hasilnya Nihil, ruangan itu begitu kokoh bedah dengan tempat Nenek yang menampungku. Kini, aku pasrah dengan keadaan aku sudah berusaha tapi hasilnya sia sia.

 

***********

 

Aku duduk di pojokan.  Berdoa sambil berharap ada seseorang yang mau menolong. Benar saja, Allah menjawab doaku dia mengirim seseorang untuk mengeluarkanku, pintu yang tadinya tak bisa dibuka kini telah terbuka dengan lebarnya berkat seseorang. Tak melewati kesempatan, aku menghampirinya semakin aku mendekat, semakin aneh penglihatanku terhadapnya dan pada saat mata sudah tertujuh padanya dari situlah aku mulai ketakutan, tubuhku gemetar hebat, aku bak kebakaran jenggot dan seakan petir menyambarku dengan dasyat. Pria itu bertubuh besar, wajahnya sangat garang dan ditangannya terdapat sebuah pedang seperti samurai lalu dia menggerak gerakannya kepadaku seolah hendak membinasakanku. Aku mencoba menyelamatkan diri menjauh darinya tapi dia berusaha mengejarku, aku bersembunyi dibalik puing puing kayu bekas berharap dia tak menemukanku.

Merasa agak aman, aku menghela napas panjang. Tak disangka rupanya dia sudah berada tepat dibelakangku saat kubalikkan wajahku padanya, pedangnya sudah berayun hendak memotong leherku. Aku pun terjaga dari mimpi buruk itu, matahari ternyata sudah sampai diubun ubun, nenek juga sudah menyiapkan sarapan untukku, aku menceritakan mimpi burukku semalam padanya. Tapi responnya biasa saja dia hanya mengatakan “Itu hanya bunga tidur” aku pun tak ambil pusing dengan hal itu.

Merasa sudah baikan, aku mohon pamit pada sang Nenek utnuk kembali kerumah menjumpai keluargaku dia juga tak menahanku dan atas hal apa juga dia menahanku. Sebelum pergi, aku bertanya pada sang nenek.”Nek, apa Nenek mau ikut dengan saya?”Ujarku padanya.

Nenek pun menjawab dengan lembut.”Nak, Nenek tidak ingin pergi kemana mana, Nenek juga tidak ingin tinggal ditempat lain, Nenek hanya ingin tinggal apabila pemilik rumah tempat Nenek menemukanmu kemarin menempati rumah itu lagi”Ujar Nenek padaku.

“Apa maksud perkataan Nenek?”aku penasaran dibuatnya.

“Apa hubungan Nenek dengan pemilik rumah itu?.”

“Nak,asal kamu tahu Nenek sudah lama bekerja dirumah itu, sudah sepuluh tahu Nenek mengurusi rumah itu, pemiliknya begitu baik pada Nenek, Nenek sangat akrab dengan mereka. Suatu hari mereka memutuskan untuk pergi dari rumah itu, begitu juga dengan Nenek. Makanya Nenek sekarang tinggal digubuk tua ini Nenek masih berharap pemilik rumah itu akan kembali menempati rumah itu lagi”Ujar Nenek dengan nada sedih.

Aku tertekun dengan perkataannya, ternyata Nenek itu adalah bi Imah pembantu kami yang sudah lama bekerja pada kami, benar saja dia adalah orang kepercayaan dikeluarga kami. Aku sampai tidak mengenalinya lagi. Waktu kian berlalu, begitu juga dengan bi Imah. Sewaktu sehat dia tidak seberantakan sekarang. Kini, bi Imah sudah berubah sembilan puluh sembilan persen, aku kasihan pada bi Imah. Aku mendesaknya untuk ikut bersamaku tapi dia tetap menolak ajakanku dan apa boleh buat itu kehendak beliau, aku pun meninggalkannya sendiri.

Rini Tri Novita, Mahasiswa PBSID STKIP BBG

Bagikan
Skip to content